Kelompok lanjut usia bukanlah kelompok yang sedikit di Indonesia, bahkan diprediksi semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Terhitung dalam lima dekade terakhir (1971-2019), jumlah penduduk usia lansia meningkat sekitar dua kali lipat, yaitu 9,6% atau sekitar 25 juta dari 269,6 juta jiwa penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut lansia perempuan sekitar 1% lebih banyak dibandingkan lansia laki-laki (10,10% dibanding 9,10% atau selisih sekitar 2,6 juta jiwa). Jumlah tersebut diproyeksikan meningkat menjadi 57,0 juta jiwa atau 17,9% pada tahun 2045 (BPS, Bappenas, UNFPA, 2018). Jumlah ini tentu saja tidak dapat dipandang sebagai sekedar angka, akan tetapi sangat penting untuk menjadi pertimbangan penting dalam rencana pembangunan sesuai cita-cita SDGs, yaitu no one left behind.
Hak-hak Lansia
Indonesia telah menerbitkan berbagai regulasi yang menjamin hak-hak lansia, yang utama adalah UUD 1945 yang merupakan konstitusi Indonesia yang merupakan payung bagi seluruh jaminan hak warga negara tanpa pandang usia. Khusus untuk Lansia, terdapat UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia beserta berbagai Peratuan Pemerintah sebagai turunannya. Dalam Undang-undang tersebut, yang dimaksud lansia adalah kelompok masyarakat yang telah berusia 60 tahun ke atas. Berbagai hak lansia telah dijamin di dalamnya, antaralain pada Pasal 5 ayat (2), yaitu : hak atas pelayanan spiritual dan keagamaan, hak atas pelayanan kesehatan, hak atas pelayanan kesempatan kerja, hak atas pelayanan pendidikan dan pelatihan, kemudahan menggunakan fasilitas, sarana dan prasarana publik, kemudahan dalam layanan bantuan hukum, perlindungan sosial, dan hak atas bantuan sosial. Namun, pemenuhan hak-hak lansia tersebut masih belum menyentuh lebih spesifik beberapa persoalan mendasar, diantaranya adalah pemenuhan hak partisipasi lansia sebagai aktor dalam pengambilan kebijakan, dan perlindungan dari kekerasan.
Kemiskinan dan Eksklusi Sosial terhadap Lansia
Telah banyak program untuk lansia mulai dari kesehatan hingga kemudahan di sektor transportasi di beberapa Provinsi. Namun lansia masih mengalami hambatan di berbagai sektor kehidupan sehingga menjadi kelompok yang sering terlupakan maupun ditinggalkan. Eksklusi sosial terhadap lansia tidak lepas dari situasi relasi sosial yang timpang dalam masyarakat, termasuk di dalamnya relasi gender. Data Susenas 2019 menunjukkan bahwa 9,38 persen lansia tinggal sendiri (sekitar 2,4 juta lansia) di mana persentase lansia perempuan yang tinggal sendiri hampir tiga kali lipat dari lansia laki-laki (13,39 persen berbanding 4,98 persen). Kerentanan terjadi pada lansia-lansia yang tinggal sendiri, seperti kerentanan tidak tertolong saat mengalami sakit, ditelantarkan dalam kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar lainnya. Sedangkan bagi lansia yang bekerja, sebagian besar merupakan pekerja informal (84,29 persen atau sekitar 21 juta lansia).
Mayoritas lansia tersebut masih kurang memiliki perlindungan sosial, dasar hukum pekerjaan, ataupun imbalan kerja yang layak. Dari seluruh lansia yang bekerja, 74,15 persen diantaranya memiliki risiko tinggi mengalami kerentanan ekonomi karena tidak memiliki kesempatan kerja yang cukup, perlindungan sosial yang tidak memadai, tidak terpenuhi hak-hak di tempat kerjanya, serta tidak memiliki kesempatan mengekspresikan pendapat mengenai pekerjaan yang mereka lakukan (BPS, 2018). Beberapa program juga tidak merata, seperti Kartu Lansia, hanya beberapa Provinsi yang memilikinya. Itupun masih banyak yang belum mengetahui dan tidak mengaksesnya.
Situasi lansia juga kerap tidak terdata secara spesifik, terutama terkait akses layanan publik dan akses hak dasar lainnya. Dari pengalaman advokasi yang dilakukan oleh LBH APIK, terdapat lansia-lansia yang tidak mengetahui bagaimana mengakses program yang disediakan negara. Lansia juga sering tidak terdata sebagai kelompok miskin, salah satunya baru-baru ini terkait data kemiskinan akibat dampak dari Pandemi Covid 19. Dari advokasi yang dilakukan oleh LBH APIK Medan, terdapat sekitar 160 lansia yang masih dalam satu desa, tidak masuk data kelompok terdampak pandemi Covid 19, sedangkan penghasilan lansia-lansia tersebut menurun drastis daripada situasi normal. Juga, lansia seringkali tidak dianalisis secara terpisah dalam laporan-laporan pembanguan dan grafiknya disatukan dengan kelompok penyandang dissabilitas. Sedangkan kedua kelompok ini berbeda, meskipun banyak lansia merupakan penyandang dissabilitas. Data terpilah lansia laki-laki dan perempuan juga masih minim, belum dapat diperoleh dengan mudah oleh publik terutama yang tingkat desa/kelurahan.
Perhitungan tentang kemiskinan belum melihat secara spesifik kerentanan yang dialami kelompok lansia, dan bagaimana struktur sosial juga mempengaruhi. Misalnya lansia seringkali memiliki rumah warisan masa lalu yang cukup baik sehingga tidak keliatan tergolong miskin, namun tidak memiliki penghasilan yang mencukupi untuk hidup. Lansia yang sudah tidak bekerja kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Kartu Keluarga Lansia seringkali masih menyatu dengan anak-anaknya yang seringkali hidup secara terpisah yang sama-sama miskin, namun dalam hal ini lansia tersebut dianggap bukan kelompok sendiri yang berhak menerima bantuan sosial. Serta masih banyak faktor lainnya di masyarakat yang makin menyebabkan situasi lansia rentan mengalami kemiskinan. Di Deli Serdang, dari Pantauan LBH APIK Medan, sebagian besar lansia telah memiliki kartu BPJS, namun masuk kriteria sebagai BPJS non subsidi, namun banyak yang tidak mampu membayar preminya sehingga tidak dapat memanfaatkan kartu tersebut.
Kekerasan dan Akses Keadilan bagi Lansia
Bentuk-bentuk eksklusi sosial lainnya masih kerap terjadi dalam berbagai sektor, antara lain akses kepada keadilan, akses partisipasi dalam pengambilan kebijakan dan beberapa implementasi akses layanan publik yang masih belum ramah lansia. Eksklusi ini berjalan berkelindan dengan situasi kekerasan terhadap lansia yang hingga saat ini belum tersaji datanya dengan komprehenship. Data BPS tahun 2019 menunjukkan bahwa data kekerasan terhadap lansia tertinggi adalah pencurian yaitu 89,12%(BPS, Maret 2019), disebutkan pula bahwa lansia menjadi korban pelecehan seksual dan kejahatan lainnya namun belum dirincikan secara mendetail. Sayangnya, dari data-data mengenai kekerasan terhadap lansia, belum terdapat data jumlah dan kategori kekerasan yang memadai untuk menjadi rujukan bentuk dan trend kekerasan yang dialami lansia.
Dari pengalaman kantor-kantor LBH APIK dalam menangani kasus kekerasan terhadap lansia, diantaranya LBH APIK Bali, Medan, dan Yogyakarta, dari 281 kasus kekerasan dan akses hak dasar lansia sepanjang 2019-2020, mayoritas kekerasan terhadap lansia adalah penelantaran dan kekersan psikologis. Sebagian dibarengi dengan eksploitasi atau perampasan ekonomi oleh kerabatnya sendiri. Lansia juga rentan mengalami KDRT, tak jarang kekerasan psikis seperti perselingkuhan, poligami, perendahan martabat, atau didiamkan. Dalam proses penanganan kasus-kasus tersebut, LBH APIK mencatat bahwa kekerasan terhadap lansia seringkali dianggap sebagai urusan privat keluarga sehingga orang lain menolak untuk campur tangan.
Lansia juga seringkali diragukan apabila melaporkan dirinya mengalami kekerasan seksual karena cara pandang mayoritas masyarakat menganggap bahwa lansia tidak mungkin mengalami kekerasan seksual. Situasi ini menjadikan hak lansia atas keadilan, persamaan di muka hukum, dan hak atas perlindungan terhadap kekerasan serta diskiriminasi belum terpenuhi dengan baik. Lansia miskin juga rentan terlibat dalam tindak pidana karena kemiskinannya seperti dalam kasus-kasus pencurian bahan makanan dan dipenjarakan karena mekanisme KUHAP belum memadai dalam konsep restorative justice terhadap kasus tertentu yang dialami lansia.
Pentingnya Keterwakilan Isu Lansia
Di Indonesia, wadah keterwakilan lansia yang disediakan selama ini diantaranya Komisi Daerah Lansia, dan Komisi Nasional Lansia. Komnas Lansia dibentuk berdasarkan Keppress No. 52 tahun 2004 tentang Komnas Lansia yang memiliki tugas yaitu membantu presiden dalam mengkoordinasikan pelaksanaan peningkatan kesejahteraan lansia serta memberikan saran dan pertimbangan presiden dalam penyusunan kebijakan peningkatan kesejahteraan lansia. Komposisi anggota Komnas Lansia sejumlah 25 orang yang terdiri dari unsur perwakilan pemerintah, dan masyarakat sipil. Namun Komnas Lansia ikut dibubarkan oleh Pemerintah tahun 2020 yang lalu meskipun mendapat kritik dari berbagai kelompok yang concern ke isu lansia. Sedangkan Komisi Daerah lansia belum diberikan struktur yang cukup memadai untuk dapat menggali aspirasi lansia-lansia di akar rumput dalam proses perencanaan pembangunan.
Sedangkan di tingkat desa, hampir bisa dikatakan hampir tidak terdapat perwakilan bagi suara-suara lansia, baik melalui upaya penggalian kebutuhan yang dilakukan oleh generasi bukan lansia maupun wadah bagi lansia itu sendiri. Posyandu lansia telah diselenggarakan di berbagai desa, namun programnya rata-rata adalah pemeriksaan kesehatan sederhana bagi lansia, serta senam sehat lansia. Penggalian situasi lansia yang lebih mendalam terkait akses hak dasarnya, diantaranya hak atas identitas hukum, ha katas ekonomi, ha katas keadilan, dan lainnya belum memiliki wadah yang memadai. Oleh karena itu, situasi lansia ini seringkali kurang tertangkap oleh masyarakat sendiri di sekitarnya maupun pemerintah sehingga dalam musrenbangdes masalah lansia jarang terakomodir. Maka dari itu, kepastian adanya keterwakilan isu lansia sangat penting untuk memastikan agar lansia tidak ditinggalkan.
Pendekatan (approach) pemberdayaan lansia di akar rumput
Seringkali dalam program-program yang ada, lansia ditempatkan sebagai objek karena dianggap tidak mampu lagi bersuara dan berkontribusi. Seolah seperti sebagai penerima program. Sedangkan lansia dan pra lansia sesungguhnya memiliki kapasitas untuk menjadi aktor dalam pembangunan, serta memberdayakan komunitasnya. Para lansia memerlukan ruang beraspirasi dan saling menguatkan antara lansia dan pra lansia satu dengan yang lain. Oleh karenanya pendekatan terhadap program yang menyangkut lansia harus berdasarkan hak (rights based approach) dan menempatkan lansia sebagai subjek, aktor yang berperan penting dalam proses pemberdayaan. Salah satu bentuknya adalah self-help group (SHG) atau Kelompok Lansia Berdaya yang didorong oleh beberapa kantor LBH APIK yang menjadi wadah bagi para pra lansia dan lansia untuk saling berbagai kesulitan dan saling membantu menyuarakan aspirasinya. Menghapus stigma bahwa pada lansia tidak dapat berkontribusi sangatlah penting, sehingga lansia dalam hal ini dapat terlibat dalam proses pembangunan.
*Oleh Khotimun Sutanti
Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Indonesia