JAKARTA, KOMPAS.TV- Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum APIK Indonesia mengatakan, Rancangan Undang-undang Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual mendesak untuk segera disahkan.
Demikian Koordinator Advokasi Kebijakan Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia, Ratna Batara Munti menyampaikan dalam keterangan tertulisnya, Rabu (13/10/2021).
“Bercermin dari kedua kasus ini, dan banyak kasus kekerasan seksual lainnya termasuk yang ditangani sehari-hari oleh Kantor-kantor LBH APIK, maka payung hukum yang mengakomodasi perspektif korban dalam sistem pembuktian dan proses penanganan kasus sangat urgen untuk segera disahkan,” tegas Ratna.
Seperti diketahui, saat ini kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan ayah kandung terhadap ketiga anaknya menjadi sorotan publik. Lantaran kasus tersebut dihentikan proses penanganan perkaranya oleh Polres Luwu Timur dengan alasan kurang cukup bukti.
Sorotan ini kemudian membuat Mabes Polri merespons kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Luwu Utara. Mabes Polri mengatakan telah menurunkan tim audit atas kinerja Polres Luwu Timur dan menyampaikan siap mengusut kembali kasus tersebut.
“Namun menunggu bukti baru. Menunggu alat bukti baru akan menjadi persoalan, karena bila ditilik lebih jauh dalam kasus ini semestinya dapat menggunakan dan memperkuat alat bukti yang telah ada,” ujar Ratna.
Tidak hanya di Luwu Timur, Ratna menuturkan kejadian kekerasan seksual terhadap anak juga terjadi di Aceh. Mahkamah Syariah Aceh, memutus bebas seorang ayah yang melakukan perkosaan terhadap anaknya dengan menyimpulkan hasil visum tidak menjadi alat bukti yang cukup.
“Kedua kasus tersebut merupakan cerminan dari banyaknya kasus-kasus lain mengenai fakta rumitnya proses penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia,” jelas Ratna.
“Alat bukti dalam proses hukum kekerasan seksual menjadi hambatan. Sehingga kasus-kasus terhenti karena masih belum secara khusus mengakomodasi perspektif dan pengalaman korban kekerasan seksual.”
Selain itu, Ratna menambahkan Asosiasi LBH APIK Indonesia bersama 16 kantor LBH APIK mencatat minimnya perspektif keberpihakan pada korban dalam proses penanganan kasus-kasus kekerasan seksual.
Padahal korban adalah Anak, yang jelas memiliki perlindung dalam proses hukum dalam UU No. 23 tahun 2002 beserta perubahannnya dalam UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Perlindungan Anak (SPPA).