Catatan terhadap Pengaturan Perkosaan dan Kekerasan Seksual Siber dalam RUU TPKS

Dampak Rugi Bagi Korban Atas “Waktu Tunggu” Perumusan Delik Perkosaan Serta Pemisahan Beberapa Unsur Delik Kekerasan Seksual Menggunakan Sarana Siber yang Dipisahkan Dari RUU TPKS

Oleh Khotimun Sutanti

Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Indonesia

 

Dalam satu minggu terakhir, setiap hari Asosiasi LBH APIK Indonesia bersama dengan Jaringan Pembela Hak Perempuan dan Korban Kekerasan Seksual dan Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) memantau sidang Panja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual di ruang Sidang Baleg DPR RI.  Dalam proses sidang tersebut, Asosiasi LBH APIK mengapresiasi langkah maju dan komitmen kuat dari Pemerintah dan anggota Baleg DPR untuk penyelesaian RUU TPKS lebih cepat serta membuka ruang bagi masyarakat sipil untuk memberikan masukan-masukan.

RUU TPKS menjadi concern besar bagi Asosiasi LBH APIK saat ini, karena telah ditunggu sejak lama oleh para pegiat bantuan hukum dari 18 kantor LBH APIK yang sehari-hari menghadapi tantangan dalam penanganan kasus dikarenakan unsur-unsur dalam pengaturan tindak pidana yang ada belum menangkap pengalaman korban kekerasan seksual, sehingga terjadi banyaknya impunitas. Perkosaan merupakan salah satu delik “inti” dari kekerasan seksual yang sejak tahun 2000 diperjuangkan oleh LBH APIK dengan mendorong UU Anti Perkosaan karena rumusan yang ada dalam Pasal 285 KUHP masih terbatas dengan unsur kekerasan dan ancaman kekerasan yang dimaknai harus adanya tindakan fisik, baju robek, dan lainnya yang tidak serta merta menangkap beragam pengalaman korban perkosaan, seperti adanya tipu daya, penyalahgunaan kekuasaan/kepercayaan, serta ketergantungan korban terhadap pelaku.

Panja RUU TPKS telah memasukkan delik perkosaan sebagai salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual sehingga yang dimaksudkan sebagai jembatan terhadap rumusan delik Perkosaan yang dimuat dalam KUHP/RKHUP.  Namun dengan menempatkan rumusan Perkosaan pada RKUHP, Asosiasi LBH APIK mencermati dampak sebagai berikut :

  1. Korban Perkosaan dengan unsur-unsur perbuatan yang belum dimuat dalam RUU TPKS maupun KUHP yang sudah ada, dalam jangka “waktu tunggu” yang tidak terprediksi penyelesaian pengesahan RKUHP yang cukup kompleks, menyebabkan Korban Perkosaan mengalami kerugian karena hak-haknya sebagai korban sehingga tidak terpenuhi.
  2. Perumusan di RKUHP meskipun telah lebih luas dari Pasal 285 KUHP namun masih belum memuat unsur tipu daya dan relasi kuasa, serta berpotensi berubah arah dari rumusan yang ada saat ini sebagai dampak situasi politik hukum, menjadikan situasi tidak pasti;
  3. Penerapan dalam praktek penegakan hukum yang menjadikan lebih banyak tantangan dan hambatan bagi korban apabila diatur dalam dua undang-undang yang terpisah. Sedangkan perlindungan, kemudahan, kemanfaatan dan keberpihakan pada situasi korban adalah hal utama dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual serta merupakan asas yang penting dipertimbangkan dalam politik hukum pidana.

Oleh sebab itu, Asosiasi LBH APIK Indonesia sejalan dengan usulan koalisi masyarakat sipil yang memandang bahwa pengaturan rumusan delik perkosaan sebaiknya dalam RUU TPKS.

Sedangkan mengenai delik kekerasan seksual melalui Siber, Asosiasi LBH APIK memberikan apresiasi kepada Panja RUU TPKS karena mengakomodasi usulan masyarakat sipil agar tidak menghapus delik ini dalam RUU TPKS, sehingga pada hari kedua sidang telah ada usulan rumusan dari Pemerintah. Namun, hasil akhir dari sidang Panja tidak memasukkan unsur-unsur yang diusulkan oleh masyarakat sipil karena Panja menganggap telah masuk dalam UU ITE, diantaranya :

  1. Unsur memodifikasi maupun memotong gambar seseorang tanpa kehendak orang lain tersebut, dengan muatan seksual;
  2. Unsur menyebarkan nomor telepon serta identitas orang lain, tanpa kehendak orang lain tersebut, dengan memasukkan muatan seksual;
  3. Pembuatan akun palsu orang lain, tanpa sepengetahuan dan kehendak orang lain tersebut, dengan memasukkan muatan seksual;
  4. Peretasan terhadap prasarana elektronik orang lain tanpa sepengetahuan dan kehendak orang lain tersebut, untuk mengambil gambar, atau foto, atau suara, atau video yang bermuatan seksual atau bagian tubuh privat orang lain tersebut.
  5. Menyebarkan tanpa sepengetahuan dan kehendak orang lain yang awalnya setuju direkam baik berupa suara, gambar, video.

Dengan tidak diaturnya unsur-unsur tersbut dalam rumusan RUU TPKS dan dianggap diatur dalam UU ITE akan menyebabkan korban yang mengalaminya tidak mendapatkan payung perlindungan dalam RUU TPKS, termasuk penerapan hukum acara serta hak-hak korban serta kembali berpotensi mengkriminalkan korban karena sifat delik-delik UU ITE netral. Oleh karena itu, pengaturan unsur-unsur tersebut sebaiknya dalam rumusan di RUU TPKS untuk melindungi korban dari potensi kriminalisasi, penerapan hukum acara, dan mendapatkan perlindungan yang diatur sebagai hak  korban dalam RUU TPKS. Apalagi seperti kita ketahui bersama bahwa kekerasan seksual siber telah menempati angka kasus yang meningkat signifikan dalam 2 tahun terakhir.

 

Jakarta, 5 April 2022.

Terimakasih!

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.