8 Maret 2018 jatuh di hari Rabu. Tanggal tersebut dinamai International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional, yang diperingati dengan protes massal atau perayaan di berbagai negara.
Di beberapa negara seperti China, Rusia, Azerbaijan, Armenia, Belarus, Kazakhstan, Moldova dan Ukraina, 8 Maret merupakan tanggal merah. Sebagai penanda penghormatan terhadap buruh perempuan, di negara-negara tersebut Hari Perempuan Internasional (HPI) diperingati dengan berkumpul bersama keluarga, berbagi bunga dan hadiah kepada perempuan. Bahkan di China, 8 Maret dijadikan hari libur untuk perempuan, tidak untuk laki-laki.
Sementara di Amerika, Eropa dan Asia, 8 Maret diperingati dengan berbagai protes. Di Amerika Serikat, puluhan ribu orang pawai dan berkumpul di pusat kota memprotes kebijakan Donald Trump.
Di Spanyol, sekira lima juta buruh dari sepuluh serikat buruh yang tergabung dalam Komite 8 Maret, melakukan mogok selama 24 jam. Mereka menuntut penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, serta kesetaraan upah antara perempuan dan lelaki. Upah buruh perempuan di Spanyol lebih rendah 13-19 persen dari upah lelaki untuk pekerjaan yang sama. Pemogokan itu telah melumpuhkan jalur kereta api nasional.
Di Perancis, HPI diisi dengan demonstrasi dan seruan pemogokan sebagai tanda solidaritas kepada buruh perempuan. Buruh perempuan di Perancis mendapatkan upah 24 persen lebih rendah dibanding laki-laki.
Di Turki, peringatan HPI dilakukan dengan pawai. Momentum HPI dimanfaatkan untuk mengangkat persoalan kebebasan berekspresi bagi perempuan dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Di Australia, 8 Maret disambut oleh gerakan perempuan adat dan Dewan Serikat Buruh Australia atau Australian Council of Trade Unions (ACTU). ACTU menuntut penghapusan kekerasan berbasis jender di tempat kerja.
Di Korea Selatan, ratusan buruh dari The Korean Confederation of Trade Unions (KCTU) berpakaian hitam menggelar pawai di kota Seoul. KCTU menuntut penghapusan kekerasan di tempat kerja. Malam harinya, mereka melancarkan demonstrasi di Kedutaan Jepang, mengingatkan kembali mengenai 200 ribu anak-anak dan perempuan Korea yang dipaksa menjadi pelacur (jugun ianfu) di masa penjajahan Jepang.
Di Afganistan, gerakan perempuan melakukan pawai di pusat kota, Kabul. Mereka menuntut ruang ekspresi lebih luas bagi perempuan, pemenuhan hak atas pendidikan dan perlindungan bagi perempuan dari kekerasan patriarki.
Di Pakistan, pawai dilakukan di pusat-pusat kota. Kaum perempuan mengecam kekerasan terhadap perempuan, di mana setiap tahun terjadi lebih dari 1000 kasus pembunuhan perempuan oleh saudara atau keluarganya demi apa yang disebut dengan ‘pembunuhan demi kehormatan keluarga’.
Di India, Bangladesh dan Nepal, kaum perempuan dari berbagai lapisan masyarakat melakukan pawai di pusat kota dan kantor pemerintahan, menuntut penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Sementara itu, peringatan HPI di Filipina ditandai dengan pawai dan rapat umum. Para aktivis turun ke jalan memprotes kebijakan Presiden Rodrigo Duterte, yang disebut sebagai perampas hak perempuan di Asia melalui pembunuhan brutal kepada ‘yang diduga pengedar narkoba’. Para aktivis juga membagikan bunga kepada perempuan dan anak-anak yang ditinggal mati suami atau bapaknya akibat kebijakan pembunuhan brutal Duterte.
Bermula dari pemogokan di kota New York, Amerika Serikat pada 8 Maret 1857. Para buruh garmen perempuan menuntut keadilan karena upah mereka sangat rendah dan jam kerja panjang. Meski aparat keamanan terus bertindak represif, kaum perempuan tetap mengorganisir diri. Gerakan mereka terus membesar hingga awal abad ke-20.
Pada 8 Maret 1908, gerakan perempuan kembali memobilisasi dalam jumlah yang besar. Saat itu, 15 ribu buruh perempuan menuntut kenaikan upah, pengurangan jam kerja, dan hak untuk memilih. Dua tahun kemudian, para aktivis buruh di Jerman mendiskusikan peristiwa tersebut. Diskusi menyepakati agar tiap tanggal 8 Maret diperingati serentak di tiap negara sebagai hari solidaritas buruh perempuan internasional dengan tuntutan serupa. Berdasarkan pengalaman-pengalaman rakyat itu, pada 1975, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) ikut mendiskusikan relevansi peringatan 8 Maret. Akhirnya, pada 1977, PBB menyematkan 8 Maret sebagai Hari Hak Perempuan dan Perdamaian Dunia. Sejak itu, 8 Maret diperingati di berbagai negara oleh berbagai golongan, ras dan kelas, sebagai hari bersama untuk mengangkat persoalan-persoalan yang dihadapi kaum perempuan.
Indonesia mengenal peringatan HPI sejak 1950-an. Kala itu, pawai, demonstrasi, dan rapat umum merupakan metode untuk mengangkat berbagai persoalan perempuan; dari persoalan poligami, hak atas pendidikan, pelaksanaan reforma agraria, hingga tuntutan kenaikan upah buruh. Di zaman Soeharto, ingatan dan capaian keberhasilan gerakan perempuan dihapus. Soeharto hanya mengimani bahwa perempuan bertugas di sumur, dapur dan kasur. Dengan kebijakan pro investasi, perempuan-perempuan didorong ke pabrik, sementara kakinya diikat di rumah.
Dua bulan sebelum diktator Soeharto tumbang, sekelompok perempuan dari berbagai organisasi yang tergabung dalam Seruan Perempuan Indonesia (Seruni) memanjatkan doa lintas iman. Mereka menggunakan tanggal 8 Maret untuk menyerukan pengakhiran kekerasan negara di berbagai daerah.
Di tahun ini, peringatan HPI diikuti oleh berbagai kelompok di berbagai kota. Mereka pawai, demonstrasi, menari, bernyanyi, membaca puisi dan bermain drama. Mereka mendatangi pusat-pusat kota dan kantor pemerintahan untuk menuntut pengakhiran segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Sumber Majalahsadane