Dalam dua minggu terakhir ini selain kehebohan soal pengesahan revisi UU KPK, media juga dipenuhi dengan berita rencana pengesahan RKUHP dan tertinggalnya pembahasan Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual (RPKS). Pembahasan tingkat pertama RKUHP telah rampung (Kompas, 17/9) sementara pembahasan RPKS belum lagi dimulai. Kemarin, secara serentak di berbagai kota, kelompok perempuan menagih janji DPR untuk segera mengesahkan RPKS sementara terdapat kelompok lain yang menolak adanya UU PKS ini.
Dalam tulisan bertajuk Dilema Reformasi Hukum Kekerasan Seksual dan Perlindungan Korban (Kompas 21/8) Sri Wiyanti Eddyono mengemukakan adanya tarik menarik antara para ahli hukum pidana dan kelompok perempuan pendukung RPKS selain menyinggung pula soal perbedaan sejarah perumusan dan penempatan kejahatan seksual dalam kedua RUU tsb.
Pokok perdebatannya sebetulnya jauh lebih mendalam pada politik hukum nasional berkenaan dengan rezim kodifikasi hukum pidana versus lahirnya berbagai UU yang merupakan lex specialis (aturan khusus) di luar KUHP serta berpangkal pula pada pertarungan antara rezim ketertiban umum dan aturan moral dan kesusilaan ( yang berubah menurut tempat dan waktu) versus rezim HAM yang universal khususnya perlindungan korban yang digunakan sebagai acuan dalam merumuskan UU dan menempatan nya dalam prioritas pembahasan.
Sejak lama, berkenaan dengan perlindungan perempuan, pembentuk UU telah melahirkan banyak ketentuan di luar KUHP. Katakan saja UU PKDRT yang di KUHP diatur dalam pasal 356 (kekerasan terhadap ayah, ibu, istri dan anak) dibawah bab tentang penganiayaan . Juga UU TPPO yang dalam KUHP diatur dalam pasal 297 (perdagangan perempuan dan anak laki-laki) dibawah bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan, pasal 326 (perniagaan budak) dan 526 ( perdagangan orang dg kekerasan dengan tujuan eksploitasi). Masalahnya berkenaan dengan perlindungan perempuan (korban), KUHP sudah tidak lagi memenuhi tuntutan jaman. KUHP peninggalam jaman colonial itu, berorientasi kepada penghukuman terhadap pelaku (hukum sebagai alat pengendalian perilaku dan represi) sedangkan dalam dua contoh terakhir, selain penghukuman UU mewajibkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak untuk mengkoordinasikan upaya-upya preventif dan rehabilitative/pemulihan korban. Dalam hal ini karena kompleksnya persoalan terutama menyangkut juga cara pandaang masyarakat yang pada umumnya menempatkan perempuan lebih sebagai obyek seksual yang berkorelasi dengan relasi gender yang timpang, pembentuk ke dua UU tsb menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif dan holistic dibandingkan dengan KUHP. Kedua UU tsb memang lahir ketika suasana reformasi masih sangat dirasakan dan pikiran-pikiran terbuka berorientasi pada nilai-nilai universal baik di kalangan DPR maupun di kalangan activist gerakan perempuan dapat berkolaborasi secara konstruktif. Sebagaimana dapat dibaca dalam ketentuan pasal 3 UU PKDRT misalnya, asas UU ini adalah : penghormatan hak asasi manusia; keadilan dan kesetaraan gender; nondiskriminasi; dan perlindungan korban.
Pada prinsipnya KUHP adalah kumpulan aturan tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap ketertiban umum dan memuat ancaman pidana yang memberikan penderitaan kepada pelaku. Dengan kata lain KUHP menggunakan rezim ketertiban umum sebagai dasar utama pembentukan dan perumusannya.Ketentuan-ketentuan yang terkait dengan kekerasan seksual seperti perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan seksual dalam perkawinan dan perdagangan perempuan berada dibawah Bab tentang Kejahatan Kesusilaan. Bab ini juga mencakup berbagai perbuatan yg sangat luas, mulai dg perbuatan atau tulisan yg bertentangan dengan kesusilaan, perzinahan, pedopilia, aborsi sampai dengan perjudian dan penyiksaan binatang. Pada dasarnya kejahatan terhadap kesusilaan diartikan sebagai kejahatan yang bertentangan dengan etika dan kesusilaan umum. Karena itu, para ahli pidana menyatakan bahwa pelaksanaannya sangat tergantung pada rasa kesusilaan masyarakat setempat dan karena itu dapat berubah menurut tempat dan waktu.
Dalam konteks kekerasan kekerasan seksual, pandangan ini sangat merugikan korban karena perlindungan terhadap integritas tubuh dan jiwa mereka sangat tergantung pada pendapat umum. Dalam masyarakat patriarki yang pada umumnya dianut oleh banyak komunitas di Indonesia, maka korban-korban kekerasan seksual menjadi sangat tidak diuntungkan dan bahkan dikorbankan lagi. Tidak heran jika perempuan korban malah sering disalahkan (misalnya karena pakaiannya, keluar malam atau jalan sendiri ) meski faktanya kekerasan lebih banyak terjadi di rumah dan oleh lingkungan dekat. Karena alas an-alasan bersifat asumtif tersebut pelakunya dihukum lebih ringan dari ancaman pidananya. Dimasukkannya hukum yang hidup dalam masyarakat, sebagai dasar perbuatan pidana (pasal 2 RKUHP), dengan mengesampingkan asas legalitas, jelas akan memicu persekusi oleh actor non-negara dan komunitas. Di dalam KUHP negara manapun, tak ada yang mengesampingklan asas legalitas, karena asas ini adalah asas yang universal dan dijamin dalam konstitusi (pasal 28 I (1) yang merupakan wujud kontrak social antara penguasa dan warganegara dalam mencegah kesewenangan serta menjamin kepastian hukum.
Rezim HAM vs Rezim Ketertiban Umum
Kelompok perempuan telah lama menuntut perubahan paradigma KUHP warisan colonial Belanda ini. Dalam kasus perkosaan dan perdagangan orang dan kasus-kasus kekerasan seksual yang lain, bukan kesusilaan dan ketertibaan umum yang terancam melainkan integritas tubuh dan jiwa, bahkan nyawa korban. Karena itu, jauh sebelum adanya RUU Kekerasan Seksual, LBH APIK dan kelompok perempuan lainnya bersiteguh untuk memindahkan kejahatan seksual ke bab tentang kejahatan terhadap keselamatan orang. Pembentuk UU cukup sensitive terhadap tuntutan ini karena itu perkosaan misalnya telah dipindahkan ke Bab tentang Kejahatan terhadap Tubuh meski sesungguhnya bukan hanya tubuh yang terancam tapi juga keselamatan dan integritas tubuh dan jiwa. Pada kasus pelecehan seksual misalnya yg juga merupakan kejahatan berbasis gender, yang terancam bukan tubuh melainkan jiwa, karena pelecehan tidak sampai pada pencabulan, seperti misalnya bersuit atau bersiul-siul sambil mengomentari bagian-bagian tubuh perempuan, jelas bermakna menghina keutuhan tubuh dan jiwa perempuan sebagai manusia. Namun patut disayangkan, perspektif hak perempuan dan perlindungan korban terutama yang terkait dengan relasi kuasa laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak, majikan atau atasan dengan bawahannya serta relasi negara dan warga negara kurang mendapat perhatian. Setelah reformasi, terdapat Bab tentang HAM dalam UUD 1945. Jika dirinci terdapat 40 hak konstitusional yang semestinya menjadi acuan pembentuk UU dan salah satunya yg penting bagi perempuan adalah hak bebas dari diskriminasi dan kekerasan vide pasal 28 B92) dan 28 I UUD 1945.Ketentuan ini merupakan hak dasar bagi perlindungan warganegara khususnya perlindungan perempuan dari kekerasan dan diskriminasi.
Karena dibuat pada jaman pemerintah kolonial Belanda, lebih seabad yang lalu, maka aspek hak warganegara dan khususnya hak peremp;uan menjadi terabaikan, dan celakanya politik hukum kolonial ini masih dilanjutkan sampai sekarang. Dalam hal perlindungan hak privacy misalnya, dalam RKUHP tidak jelas arahnya. Misalnya dalam aturan perzinahan dan kumpul kebo, pelaksanaannya digantungkan kepada pengaduan para pihak yang dirugikan. Dalam dalam RKUHP delik pengaduan ini diperluas pelapornya dengan tambahan : orang tua, anak dan lurah setempat (Kompas, 17/9). Bagaimana mungkin, sebuah perbuatan yang terjadi di ruang privat, tanpa kekerasan, di kategorikan sebagai perbuatan pidana yang artinya kejahatan terhadap ketertiban umum namun digantungkan penuntutannya kepada anggota masyarakat (yang dirugikan) ? Bukankah ini sudah melenceng dari asas dan prinsip hukum pidana itu sendiri yakni untuk melindungi kepentingan umum yang dalam hal ini diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum?
Ketentuan-ketentuan diatas adalah beberapa contoh saja bagaimana tidak jelasnya politik hukum pidana kita terkait dengan kejahatan kekerasan seksual. Karena tidak secara jernih mendefinisikan kepentingan umum yang mana yang harus dilindungi dan siapakah korban yang harus dilindungi dalam RKUHP dan juga dalam RPKS maka kerancuan terjadi baik terkait dengan pemahaman tentang posisi delik aduan dalam hukum pidana maupun dalam hal pengertian kepentingan umum. Bagi saya kepentingan umum adalah kepentingan masyarakatn luas yang mengacu kepada tegaknya hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945, Konvensi2 Internasional dan konsensus Internasional yang sudah diratifikasi dan ditandatangani khususnya Konvensi Peremp;uan dan Deklarasi Penghapusan kekerasan terhadap Perempuan Lebih jauh lagi kerancuan pengertian antara rezim kodifikasi dan rezim aturan khusus, yang memuat tidak saja pemidanaan, tapi juga pencegahan dan pemulihan, harus diakhiri. Keseimbangan antara kepentingan umum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam hukum pidana harus tercermin dalam seluruh pasal-pasal KUHP guna menghindari kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya merupakan ekspressi hak privacy warganegara yang tidak mengganggu ketertiban umum.
Utamakan Perlindungan Korban, Hindari Kriminalisasi
sumber: Kompas edisi 20 September 2019