Jakarta, 27 Februari 2025 – Konferensi nasional bertajuk Perempuan Bicara Transisi Energi Berkeadilan digelar dengan menghadirkan lebih dari 80 organisasi perempuan dan kelompok masyarakat sipil. Rangkaian kegiatan pada hari pertama terdiri dari diskusi publik yang memaparkan laporan penelitian terkait situasi perempuan sekitar proyek transisi energi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan diskusi kelompok. Penelitian yang dilakukan oleh Asosiasi LBH APIK dan Kalyanamitra mengungkapkan proyek transisi energi khususnya PLTP belum mengimplementasikan prinsip-prinsip keadilan.
Dari temuan studi ini tercermin bahwa keadilan dalam transisi energi seringkali kurang tepat diterapkan, terlebih lagi minim perspektif gender dan inklusi sosial. Rekomendasi dalam penelitian tersebut mendorong Kementerian ESDM bersama kementerian yang lain untuk memastikan empat prinsip keadilan dalam proyek transisi energi mengintegrasikan analisis gender dan interseksionalitas. Mulai dari penilaian, termasuk analisis AMDAL, hingga implementasi, dan monitoring/evaluasi.
Diskusi publik hari pertama dilanjutkan dengan mendengarkan cerita komunitas dari berbagai daerah. Salah satunya adalah dampak proyek Geothermal di Sulawesi Tengah yang menjadi supply chain untuk pengolahan nikel di Morowali Utara. Dampak yang diceritakan oleh perwakilan LBH APIK Sulawesi Tengah adalah sulitnya akses air, kekerasan berbasis gender, dan munculnya beragam penyakit. Forum ini juga menghadirkan ragam cerita dari Komunitas Petani Salatiga, Solidaritas Perempuan Lampung, dan perempuan komunitas di berbagai daerah lainnya.
Kegiatan yang berlangsung selama dua hari 26-27 Februari 2025 juga melibatkan diskusi kelompok untuk membicarakan pengetahuan serta pengalaman perempuan dan kelompok rentan. Topik yang diangkat seputar transisi energi adalah pendanaan dan inisiatif komunitas, kekerasan berbasis gender (KBG), ruang hidup perempuan, dan ketenagakerjaan. Dalam kelompok-kelompok kecil, peserta konferensi mendiskusikan pengetahuan, pengalaman, peluang, serta menyusun rekomendasi untuk diimplementasikan bersama.
Pada hari kedua, terdapat diskusi publik yang mengangkat tema “Menghadirkan Regulasi Transisi Energi yang Berkeadilan Gender” dengan narasumber dari The Prakarsa, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Fakultas Hukum Unika Atmajaya, dan Fair Finance Asia (FFA). Diskusi ini menyoroti regulasi yang masih belum mendukung energy justice atau keadilan energi. Selain itu, masih minimnya keterlibatan perempuan, masyarakat adat, dan kelompok rentan dalam pembuatan kebijakan di sektor energi. Pemerintah pun turut hadir diwakili oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang menegaskan upaya-upaya pemerintah dalam mendistribusikan pembiayaan transisi energi ke komunitas.
Setelah mendengar berbagai paparan, peserta konferensi kembali diminta berdiskusi lewat kelompok-kelompok kecil sesuai topik yang dipilih sehari sebelumnya. Topik diskusi pada hari kedua adalah empat aspek keadilan yaitu, keadilan rekognisi, keadilan distribusi, keadilan prosedural, dan keadilan remedial. Peserta konferensi juga menyusun rekomendasi konkret dan pihak-pihak yang dituju. Setelah berdiskusi, peserta konferensi memaparkan hasil temuan dan rekomendasi dalam forum besar.
Sektor ketenagakerjaan menghasilkan rekomendasi penguatan kapasitas perempuan dan kelompok rentan agar dapat bersaing dalam pasar tenaga kerja. Terlebih dengan potensi green job yang membutuhkan skill lebih tinggi, pemerintah harus melibatkan perempuan agar mendapatkan akses yang setara. Kemudian di kelompok pendanaan dan inisiatif energi, peserta mendiskusikan soal sulitnya akses pembiayaan yang dirasakan. Salah satu rekomendasi yang dihasilkan untuk pemerintah, perbankan, dan swasta adalah mempermudah akses pembiayaan di level akar rumput. Sebab selama ini, banyak inisiatif-inisiatif energi terbarukan yang muncul dari komunitas tidak mendapat perhatian pemerintah maupun swasta.
Sementara, kelompok ruang hidup perempuan menuntut pemerintah mengumpulkan data dan informasi terkait kelompok rentan yang lebih komprehensif. Saat ini data yang ada masih sangat minim. Akibatnya sulit untuk membuat kebijakan yang lebih sensitif pada kebutuhan kelompok rentan. Selain itu, proses pembuatan dan evaluasi kebijakan seharusnya juga melibatkan kelompok rentan. Terakhir, kelompok kesehatan dan kekerasan berbasis gender (KBG) merekomendasikan pemerintah menyediakan anggaran pemulihan untuk korban terdampak. Terlebih kerugian yang dirasakan tidak hanya materil namun juga immateril.
Rekomendasi ini disampaikan secara langsung kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang hadir dalam forum pleno tersebut. Harapannya, Bappenas dapat menggandeng Kementerian/Lembaga terkait yang dapat mendorong transisi energi berkeadilan yang inklusif.