Selamat Datang Anggota DPR Baru: Menanti Lahirnya Politisi Sejati

Nursyahbani Katjasungkana
Anggota DPR 2009-2014

Hari ini, Selasa (1/9), anggota dewan periode 2019-2024 dilantik. Harapan membuncah kepada DPR baru ini untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ditinggalkan DPR lama. Baik sejumlah daftar RUU yang tak sempat dibahas, atau sudah dibahas tapi tak tuntas karena berbagai kontroversi yang ditimbulkannya. Ditambah mungkin perpu-perpu yang akan diluncurkan Presiden karena adanya desakan publik, misalnya Revisi UU KPK yang kontroversial itu.

Meski bukan fenomena ekslusif Indonesia, kita patut berefleksi mengapa kita seringkali memperoleh anggota DPR yang buruk kinerjanya, maupun cara pandangnya yang tidak selaras dengan Mukadimah dan UUD 1945 serta prinsip keberagaman Bhineka Tunggal Ika yang menjadi falsafah kita berbangsa dan bernegara. Akibatnya, produk hukum yang dihasilkan menuai protes masyarakat luas, khususnya para aktivis LSM, mahasiswa, dan pelajar. Protes ini memakan banyak korban luka dan meninggal dunia akibat kekerasan yang dilakukan aparat.

Anggota DPR menghadiri Rapat Paripurna DPR di antara bangku yang tak terisi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/12). | Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Politisi Pyromaniacs dan Korup

Sangat menyedihkan menonton para politisi yang gemar “menyulut” kerusuhan atau melahirkan perseteruan antar warga. Mereka itulah yang sering disebut sebagai politisi pyromaniacs, politisi yang gemar melahirkan perseteruan dan kemudian mencoba memadamkannya demi kepuasan dirinya sendiri. Di antara mereka ada yang terlibat kasus korupsi pula.

Sementara persoalan di masyarakat begitu meminta perhatian serius: Krisis di Papua, kebakaran hutan, dan penduduk khususnya balita yang terkena ISPA yang berpotensi mengkerdilkan otak mereka. Darurat korupsi dan potensi krisis ekonomi yang juga mulai memperoleh perhatian presiden, meski telah diingatkan para pakar berulang kali. Mereka tetap saja berkolusi untuk ikut serta dalam merusak lingkungan dan mengambil keuntungan pribadi dari setiap kebijakan yang dibuat.

Meski tidak dapat digunakan sebagai pembenaran, hal yang sama sebenarnya terjadi di belahan dunia lain. Sampai-sampai seorang Greta Thunberg harus bicara keras di sidang PBB dan mengajak semua anak untuk turun ke jalan guna menyelamatkan masa depan dunia dari perubahan iklim global. “No one is too small to make a difference” katanya dengan lantang dan menyemangati.

Di Indonesia anak-anak pelajar STM juga mendukung gerakan kakak-kakaknya untuk memperkuat gerakan hak sipil yang terancam oleh RKUHP. Juga mendukung penolakan UU (revisi) KPK yang dianggap melemahkan komisi antirasuah itu, sebagai bagian tak terpisahkan dari gerakan hak asasi manusia. Jika korupsi dibiarkan pada akhirnya hak asasi manusia khususnya hak EKOSOB masyarakatlah yang terancam. Dana yang seharusnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, terkuras mengalir ke kantong koruptor.

Jika korupsi dibiarkan pada akhirnya hak asasi manusia khususnya hak EKOSOB masyarakatlah yang terancam. Dana yang seharusnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, terkuras mengalir ke kantong koruptor.

Memperhatikan argumen-argumen yang digunakan para politisi khususnya dalam kaitan dengan RKUHP dan UU KPK itu, mereka seperti tidak bekerja atas dasar hati nurani dan referensi yang digunakan juga tak jelas. “KPK akan menjadi superbody jika tidak diawasi atau diamputasi wewenangnya,” begitulah kira-kira di antara argumen yang digunakan.

Yang diamputasi adalah wewenang pro justicia khususnya penyadapan. Suatu wewenang yang melebihi pengadilan yang selama ini melakukan pengawasan meski hanya secara administratif.

Tidak ada fakta-fakta konkret dan legitimate berdasarkan hasil studi dan evaluasi yang menyeluruh yang dapat digunakan untuk memperkuat ide perubahan wewenang KPK itu. Tentu KPK sendiri, juga harus berani secara terbuka, mengenali, dan mengakui kesalahan-kesalahan yang dibuatnya (jika ada) dan melakukan tindakan perbaikan yang diperlukan.

Benar, bahwa KPK dan UU-nya, bukan lembaga atau kitab suci yang enggak bisa disentuh atau diubah. Atau seperti yang dinyatakan J. Kristiadi, KPK tak boleh dikeramatkan, saripati perubahan adalah pengawasan dan akuntabilitas

Pertanyaan terhadap preposisi ini adalah, apakah pengawas, mengantikan fungsi pengadilan untuk mengawasi tindakan pro-justicia yang dilakukan pimpinan KPK? Tidakkah ini merupakan penggunaan kekuasaan presiden yang eksesif terhadap KPK melalui dewan pengawas.

Saya tidak melihat bahwa protes-protes yang terjadi adalah gejala mobokrasi, memaksakan sesuatu dengan menggunakan massa. Tetapi gerakan sosial itu dipicu justru oleh polisi yang tidak kompeten mengelola kepentingan publik dan bias-bias kepentingan politik partai politiknya.Atau ketidakmampuan mereka membedakan mana yang pribadi dan mana yang membahayakan kepentingan publik, sehingga terkesan waton suloyo, asal-asalan.

Merindukan Politisi Sejati

Politisi pyromaniacs sering memungut dan menyandarkan argumentasinya pada arah angin bergerak sambil membayangkan keuntungan yang akan diperolehnya. Di era populisme digunakan sebagai strategi politik elektoral, kecenderungan untuk mengabaikan hati nurani semakin tampak.

Untuk sementara ini, gerakan hak sipil yang diwakili oleh mahasiswa dan pelajar STM itu berhasil membelokkan arah angin dan bahkan berhasil menghentikan pembahasan RKUHP. Bahkan memaksa presiden untuk mempertimbangkan dibuatnya Perpu Pembatalan Revisi UU KPK.

Ilustrasi DPR oleh Basith Subastian/kumparan

Adalah tugas DPR baru untuk memulai lagi pembahasan RUU warisan dewan yang lama dengan lebih banyak mendengarkan aspirasi publik yang lebih luas dan paling sedikit menggunakan konstitusi sebagai referensi. Khusus untuk kekerasan berbasis gender, dengarkan juga suara-suara para korban dan pendamping mereka serta organisasi-organisasi perempuan yang selama ini bekerja untuk membantu pemulihan mereka. Bahkan banyak yang melakukannya tanpa bantuan keuangan dari negara. Tiga tahun lamanya RPKS dibahas dan kita dihadapkan pada kenyataan yang sangat absurd: Membahas judul saja tak selesai.

Tiga tahun lamanya RPKS dibahas dan kita dihadapkan pada kenyataan yang sangat absurd: Membahas judul saja tak selesai.

UU Parpol nomor 2/2011 sebenarnya telah memberikan dasar-dasar yang kokoh guna berfungsinya parpol sebagai sumber rekrutmen anggota DPR dan jabatan publik lainnya termasuk presiden dan wakilnya. Fungsi Pendidikan politik dan pengkaderan serta fungsi untuk mengartikulasikan kepentingan dan agregasi politik (fungsi menggabungkan kepentingan kelompok yang berbeda yang ditransformasikan dalam alternatif-alternatif kebijakan pemerintah).

Fungsi-fungsi tersebut menurut UU Parpol dimaksudkan untuk memperkokoh sistem presidensial dan berjalannya demokrasi untuk kepentingan kesejahteraan rakyat sesuai dengan amanat konstitusi. Meski kita tahu bahwa ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengartikulasikan kepentingan dan agregasi politik. Misalnya pendekatan pragmatis dan pendekatan yang berorientasi pada nilai.

Namun hendaknya artikulasi kepentingan itu diorientasikan pada sebesar-besarnya kepentingan bangsa dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan amanat konstitusi.

Keterampilan untuk mengartikulasikan kepentingan konstituennya yang berbeda-beda harus dikuasai. Ini agar menghasilkan kebijakan yang menghormati hak-hak dasarnya sebagai warga yang telah mempercayakan kepentingannya agar dapat diartikulasikan.

Sayangnya, UU Parpol tidak secara detail atau setidaknya secara minimal mengatur bagaimana pendidikan politik dan pengkaderan untuk menghasilkan anggota-anggota partai dengan budaya politik demokratis, serta mempunyai ketrampilan yang memadai sebagai legislator maupun pejabat publik tersebut akan dilakukan.

Keterlibatan yang produktif dengan semua elemen masyarakat sipil dan media juga cukup esensial. Ini mengingat fungsi DPR yang harus selalu mempertanggungjawabkan tindakan di hadapan publik dan tentunya berbicara atas nama rakyat (sesuai dengan asal kata parlemen, parle, artinya berbicara).

UU menyerahkan segala urusan pendidikan politik, pengkaderan, dan rekrutmen kepada masing-masing parpolnya sesuai dengan AD/ART masing-masing. Ada banyak ekses atas kekuasaan partai yang besar cq para pengurusnya. Para pengurus yang dengan sewenang-wenang mengabaikan suara rakyat juga harus diberikan sangsi karena bagaimanapun parpol adalah lembaga pubik yang harus bisa dikontrol, tanpa harus menungu sangsi politik lima tahunan.

Anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024 berswafoto bersama Presiden Joko Widodo saat menghadiri pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Ruang Rapat Paripurna, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Prinsip transparansi dan akuntabilitas keuangan parpol juga perlu ditertibkan tidak saja dari segi prinsip-prinsip keuangan, tapi termasuk juga yang terkait dengan penggunaan anggaran terutama yang berasal dari APBN. Agar tujuan dan fungsi parpol sebagaimana ditetapkan dalam UU benar-benar dapat diwujudkan.

Dengan demikian kita dapat berharap tidak lagi memperoleh politisi yang salah pilih melainkan memperoleh politisi yang sejati. Yang tidak saja berorientasi pada kepentingan rakyat yang diwakilinya/konstituen utamanya, melainkan juga kepentingan untuk mewujudkan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat.

Peranan Lemhanas yang memberikan pembekalan kepada para anggota DPR terpilih juga mesti diefektifkan bagi pemantapan pengkaderan yang telah dilakukan oleh parpol terhadap para anggotanya.

Tugas Berat: Memelihara Kepercayaan kepada Demokrasi

Sebagaimana dilansir Kompas kemarin (30/9), DPR periode yang lalu meninggalkan beban dan tanggung jawab yang berat kepada DPR baru. Tanggung jawab dan berat tidak saja terkait dengan tuntutan untuk merealisasikan aspirasi masyarakat dan melakukan perubahan namun juga karena banyaknya daftar RUU yang tak terbahas. Salah satunya yang sangat dibutuhkan oleh kaum perempuan adalah RPKS.

Sebagai mantan anggota DPR (2009-2014) saya mengetahui betul bahwa tugas-tugas sebagai legislator cukup berat dan seperti selalu kekurangan waktu. Fasilitas dukungan yang minim, dibandingkan dengan yang diterima oleh anggota DPR periode lalu. Misalnya dengan adanya 7 orang staf khusus, adalah persoalan tersendiri yang harus dihadapi. Namun tangung jawab yang berat itu justru harus dilihat sebagai kesempatan emas untuk memperbaiki kinerja yang buruk dan memulihkan kepercayaan rakyat terhadap DPR yang saat ini sangat rendah.

Jangan sampai rakyat tidak mempercayai lagi demokrasi sebagai satu-satunya sistem yang telah menjadi konsensus bahkan di banyak negara di dunia ini. Optimisme rakyat dengan tetap memberikan suaranya kepada partai dan kepada para calon legislatif adalah modal yang sangat berharga untuk mewujudkan Indonesia adil dan makmur itu.

sumber : kumparan

Terimakasih!

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.