Pernyataan Sikap
Asosiasi LBH APIK Indonesia dan Kantor LBH APIK
Ucapan Fadli Zon Soal Tidak Ada Bukti Perkosaan Massal 1998: Reviktimisasi oleh Negara yang Menjauhkan Keadilan bagi Korban
Ucapan Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan Republik Indonesia yang menyebut Tragedi Perkosaan Massal Mei 1998 sebagai “rumor” bukan hanya bentuk penyangkalan terhadap kekerasan sistemik terhadap perempuan, tetapi juga mencerminkan sikap penguasa yang abai terhadap kekerasan seksual dan pelanggaran hak asasi manusia. Pernyataan ini merupakan bentuk reviktimisasi terhadap para penyintas dan keluarga korban yang telah menunggu keadilan selama lebih dari dua dekade.
Merespons berbagai kecaman dari masyarakat sipil atas pernyataan tersebut, pada Senin (16/6), Fadli Zon tetap tidak menyampaikan permintaan maaf, dan justru terus meragukan kebenaran tragedi perkosaan massal yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada 1998. Kami mencatat dan mengkritisi atas pernyataan Fadli Zon terhadap tragedi Perkosaan Masal 1998:
Menambah Rapor Buruk Negara dalam Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan
Pernyataan Fadli Zon semakin memperpanjang daftar kegagalan negara dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Hingga saat ini, para korban masih menghadapi berbagai hambatan dalam proses pembuktian hukum—mulai dari minimnya perlindungan, kurangnya keberpihakan, hingga tidak adanya keberanian politik dari negara untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut. Pernyataan yang meragukan kebenaran kekerasan seksual justru memperkuat budaya impunitas dan semakin menjauhkan korban dari akses keadilan.
Menuntut bukti dan data lebih lanjut dari masyarakat sipil adalah bentuk pembalikan tanggung jawab. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) telah menyampaikan temuan dan data yang cukup rinci sebagai dasar untuk penyelidikan lanjutan. Penyelidikan dan pembuktian bukanlah tugas masyarakat sipil atau korban, melainkan merupakan kewenangan dan tanggung jawab aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan yang memiliki mandat pro justitia untuk menindaklanjutinya secara menyeluruh.
Kami mencatat terdapat tantangan pembuktian kasus kekerasan seksual di Indonesia yang sulit dilakukan, terlebih lagi jika kekerasan memiliki nuansa politik seperti Tragedi 1998. Karena itu, diperlukan pengaturan hukum acara yang khusus, yang mampu mengakomodasi kompleksitas dan keberpihakan terhadap korban dalam proses hukum.
Negara Harus Menindaklanjuti Rekomendasi TGPF
Sebagai pejabat negara, Fadli Zon seharusnya menunjukkan komitmen terhadap hak asasi manusia dengan mendorong tindak lanjut atas rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998, yang secara eksplisit menyebut telah terjadi kekerasan seksual yang sistemik, khususnya terhadap perempuan Tionghoa. Alih-alih menyangkal, seharusnya Fadli Zon mendorong pengusutan, pemulihan, dan jaminan ketidakberulangan atas tragedi tersebut.
Sejarah Tidak Harus Ditulis dengan Nada Positif, tetapi Harus Berbasis Fakta dan Memberikan Keadilan
Fadli Zon memang membantah tudingan bahwa ia ingin menghapus narasi perempuan dalam sejarah Indonesia. Namun, pernyataannya bahwa sejarah harus ditulis dengan “nada positif” tidaklah adil—baik bagi generasi mendatang, maupun bagi para korban. Jika sejarah perempuan hanya ditulis secara positif tanpa mengungkap fakta atas ketidakadilan yang selama ini masih terjadi atas kasus-kasus kekerasan seksual termasuk peristiwa Perkosaan 1998, maka itu justru akan menghapus pengalaman korban dan membungkam suara kelompok marginal.
Sejarah yang berpihak bukanlah sejarah yang membungkam luka dan ketidakadilan, tapi perlu menghadirkan keadilan dan pembelajaran kolektif bagi bangsa dan generasi depan.
Pernyataan Fadli Zon Tidak Hanya Keliru, Tetapi Berbahaya
Pernyataan ini mengerdilkan perjuangan korban, melemahkan upaya pengungkapan kebenaran, serta menegaskan pengabaian negara yang masih terus berlangsung terhadap keadilan dan pemulihan korban.
Untuk itu, Asosiasi LBH APIK Indonesia dan 18 Kantor LBH APIK menyatakan sikap:
- Menuntut Fadli Zon menarik pernyataannya secara terbuka dan menyampaikan permintaan maaf kepada para korban.
- Menuntut Negara menindaklanjuti rekomendasi TGPF untuk mengusut peristiwa kekerasan seksual dalam Tragedi 1998 secara tuntas.
- Kami menolak narasi tunggal dalam penulisan sejarah dan menolak penafsiran sepihak oleh negara terhadap peristiwa-peristiwa sejarah.
- Oleh karena itu, kami menuntut Tim Penulisan Sejarah Indonesia untuk tidak menghapus atau mengabaikan peristiwa penting terkait gerakan perempuan dan pelanggaran HAM dalam buku sejarah yang saat ini sedang disusun oleh pemerintah
Jakarta, 18 Juni 2025
Asosiasi LBH APIK Indonesia
LBH APIK Banten
LBH APIK Sulawesi Selatan
LBH APIK Nusa Tenggara Timur
LBH APIK Sumatera Selatan
LBH APIK Jayapura
LBH APIK Semarang
LBH APIK Jakarta
Narahubung:
Febda Risha (risha.febda@gmail.com)