Menarasikan Keadilan dalam Transisi Energi dari Perspektif Perempuan

Jakarta, 26 Februari 2025 – Komitmen negara-negara untuk menahan laju krisis iklim diimplementasikan melalui berbagai program. Tagline yang digaungkan berulang kali adalah just energy transition atau transisi energi berkeadilan. Setidaknya, terdapat empat prinsip keadilan yang harus digunakan dalam transisi energi, yaitu keadilan rekognisi; keadilan distribusi; keadilan prosedural; dan keadilan remedial.

Prinsip keadilan inilah juga digunakan dalam studi lapangan yang dilakukan oleh Asosiasi LBH APIK Indonesia dan Kalyanamitra mengenai situasi perempuan sekitar proyek transisi energi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Dari temuan studi ini tercermin bahwa keadilan dalam transisi energi seringkali kurang tepat diterapkan, terlebih lagi minim perspektif gender dan inklusi sosial. 

“Energi adalah hak masyarakat, termasuk perempuan”, Papar Listyowati dari Kalyanamitra.

 “Sebagian perempuan justru baru tahu tentang PLTP ketika sudah mulai dibangun, dari melihat lalu lalang kendaraan. Keterbatasan informasi ini berpengaruh pada partisipasi untuk merespon dan pengetahuan yang minim untuk mitigasi risiko,” ujar Khotimun Sutanti dari Asosiasi LBH APIK Indonesia dalam paparannya. 

Khotimun juga menyampaikan rekomendasi, diantaranya Kementerian ESDM bersama kementrian yang lain, memastikan 4 prinsip keadilan dalam proyek transisi energi mengintegrasikan analisis gender dan interseksionalitas. Mulai dari penilaian (termasuk analisis AMDAL, hingga implementasi, dan monitoring/evaluasi.

Merespon temuan para peneliti, Dosen Kajian Gender Universitas Indonesia Mia Siscawati menuturkan penting untuk melakukan analisis potensi kekerasan dalam desain proyek energi terbarukan. Hal ini akan membantu pengambilan keputusan yang lebih etis terkait waktu serta tata cara pelaksanaan proyek energi. 

“Perempuan bukan entitas homogen. Perempuan memiliki beragam identitas dan bagian berbagai kelompok sosial. Kita perlu membangun sistem energi terbarukan yang etis, setara, dan inklusif melalui siklus hidup produksi energi terbarukan yang transparan, berkelanjutan, serta mengurangi ketidakadilan dan kekerasan. Keputusan-keputusan yang akan diambil perlu berorientasi pada kebutuhan dan kepentingan perempuan dan kelompok marjinal dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi energi bersih dan terbarukan,” tutur Mia. 

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Dina Nurul Fitria mengaku saat ini narasi terkait transisi energi dan energi terbarukan masih sangat eksklusif. Ia mengaku pemerintah tengah berusaha melakukan pendampingan agar narasi terkait energi terbarukan dan transisi energi bisa dipahami secara merata dan mendalam. 

“Saat ini pemerintah sedang menyelesaikan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Kami berusaha mendampingi daerah dalam proses penyusunan kebijakan terkait ini, agar tidak mengabaikan kelompok masyarakat dalam transisi energi,” ungkapnya.  

Kemudian, Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati mendorong penerapan aspek gender, HAM, dan inklusi sosial dalam kebijakan energi, misalnya RUU Energi Terbarukan. Sebab, menurutnya, selama ini aspek gender sama sekali tidak disebutkan dalam RUU Energi Terbarukan secara rinci. Sedangkan, dalam dokumen lain seperti Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP JETP) meski sudah menggunakan GEDSI sebagai landasan, namun belum ada indikator pasti untuk pemantauan.

“Pengarusutamaan gender bukan hal baru dan sudah dijalankan dalam konteks transisi energi. Namun, jika dilihat dalam pemerintahan, pengambilan keputusan masih didominasi laki-laki,” tuturnya.

Deputi Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Amurwani Dwi Lestariningsih mengaku saat ini tantangan yang paling besar dihadapi saat ini adalah praktik dan komitmen pengarusutamaan GEDSI dalam program pemerintah daerah masih belum merata. Penyebabnya adalah pemahaman terkait gender, perubahan iklim, dan integrasi gender dalam isu energi masih terbatas.

“Sayangnya saya belum melihat ada satu penyusunan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang mengimplementasikan perspektif gender ini. Ini menjadi tugas berat untuk mengarusutamakan perspektif gender di pemerintah daerah,” ujarnya.

Wakil Menteri PPPA Veronica Tan menyadari bahwa belum semua lapisan pemerintahan memiliki perspektif gender yang komprehensif. Untuk itu, ia mendorong penyusunan aturan terkait keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan di level paling kecil. Ia mengusulkan musyawarah perencanaan dan pembangunan (Musrenbang) yang dilaksanakan tiap tahun harus dihadiri perempuan.

“Kita harus menyusun aturan atau cara yang aman dan mengikat agar partisipasi perempuan masuk dalam pengambilan keputusan. Misal Musrenbang harus dihadiri ⅓ atau ⅔ perempuan. Harus kita yang bikin peraturan, kalau gak ada peraturan, mereka gak mau terlibat. Ini jadi upaya kita bersama untuk melibatkan perempuan di forum pengambilan keputusan,” tegasnya.

****

Konferensi nasional “Perempuan Bicara Transisi Energi Berkeadilan” diselenggarakan oleh Asosiasi LBH APIK bersama Koalisi Perempuan untuk Transisi Energi Berkeadilan (Womens for JET). Konferensi ini bertujuan sebagai  ruang perempuan, organisasi perempuan, dan masyarakat sipil untuk menyuarakan dan menyusun rekomendasi bersama dalam upaya mendorong transisi energi berkeadilan dan tentunya berperspektif gender, disabilitas, dan inklusi sosial. Narahubung Khotimun Sutanti (+62 812-1221-0141).

 

Terimakasih!

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.