Jakarta, 23 Juli 2024 – Asosiasi LBH APIK Indonesia, Yayasan Penabulu bersama Konsorsium Women in Local Humanitarian Leadership (WLHL) mengadakan Diskusi Kelompok Terfokus “Memetakan Perkembangan, Peluang, Dan Tantangan Dalam Memperkuat Kepemimpinan Perempuan Dalam Kerja Kemanusiaan” di Jakarta.
Diskusi ini mempertemukan berbagai pihak, yaitu lembaga pemerintah dengan organisasi perempuan dan organisasi kemanusiaan untuk mengidentifikasi peluang dan potensi sumber daya pada tingkat lokal yang dapat mendukung kepemimpinan perempuan dalam kerja kemanusiaan serta membangun sinergi dengan agenda kemanusiaan tahun 2024-2025.
Selama ini, perempuan menghadapi risiko yang lebih tinggi di hampir setiap kejadian bencana dan situasi krisis. Selain korban nyawa, perempuan juga menjadi kelompok yang lebih beresiko mengalami peminggiran dalam akses hak dasar serta terjadinya kekerasan berbasis gender.
Sementara itu, inisiatif dan praktik kepemimpinan perempuan telah banyak berkontribusi dalam aksi kemanusiaan dan pembangunan. Begitu pula peran organisasi perempuan dalam sistem kerja penanggulangan bencana di Indonesia.
“Pertama kita perlu memetakan modalitas yang dimiliki masing-masing organisasi perempuan, adanya kolaborasi dari berbagai sumber daya dan ada yang dikuatkan oleh organisasi perempuan. Proses ini tidak instan dan dapat dimulai dari pelibatan proses membangun narasi bersama dan saling belajar. Karena biasanya dalam rapat-rapat misalnya soal mitigasi, organisasi perempuan jarang dilibatkan dan diajak duduk bersama. Akhirnya proses belajarnya tidak terjadi dan tidak bertumbuh”, ujar Khotimun Sutanti, Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Indonesia dalam pembukaan diskusi.
Sejalan degan itu, Gita Yulianti Suwandi, S.T., M.Plan, narasumber dari BNPB memaparkan pentingnya data terpilah gender dalam situasi bencana yang dapat digunakan untuk analisis kerentanan dan kapasitas masyarakat dalam setiap tahapan bencana. “Untuk itu, BNPB juga telah membuat Roadmap Pengarusutamaan Gender di Lingkungan BNPB 2021-2024 untuk mendorong komitmen BNPB dalam penanggulangan bencana yang responsif gender”, tambahnya.
Untuk memastikan penanggulangan bencana berperspektif gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak diwakili oleh Ibu Rina Nuriyanti, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KPPPA, mengatakan bahwa sub klaster pencegahan dan penanganan KBG dan pemberdayaan perempuan yang merupakan bagian dari klaster pengungsian dan perlindungan telah dibentuk.
“Tujuannya adalah mengintegrasikan pedoman pencegahan dan penanganan KBG di internal klaster pengungsian dan perlindungan maupun di eksternal (klaster lainnya), memastikan upaya pencegahan dan penanganan KBG menjadi prioritas dari klaster Pengungsian dan Perlindungan, dan memastikan perlindungan dan penanganan korban/penyintas KDRT”, paparnya dalam sesi presentasi.
Berbagai respon atas paparan narasumber disampaikan oleh peserta diskusi, di antaranya seperti nilai kesetaraan dan pelibatan perempuan yang benar-benar dimasukkan ke dalam kerja humanitarian dan jangan menjadi tokenisme semata, implementasi tindakan afirmatif untuk pelibatan bermakna perempuan dalam setiap tahapan bencana, dan pentingnya mekanisme formal untuk pemantauan rutin tahunan terkait pelaksanaan dalam penanggulangan bencana dengan melibatkan stakeholder terkait.
Dari diskusi tersebut, telah dihasilkan peluang yang dapat dikolaborasikan untuk memperkuat kepemimpinan perempuan, seperti kolaborasi antara organisasi perempuan dan humanitarian, jaringan WLHL sebagai wadah untuk bertukar gagasan, dan kolaborasi dalam mengawal kebijakan pemerintah terkait kebencanaan.
(FR)