[Pernyataan Sikap] Menolak Pengesahan RKUHAP: Masih Minim Perlindungan dan Pemenuhan Hak Bagi Perempuan Berhadapan Dengan Hukum

Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menyepakati isi rancangan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam pembicaraan tingkat I pada Kamis, 13 November 2025. Selanjutnya, RUU KUHAP akan dibawa ke rapat pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, mengatakan pengesahan akan dibawa ke rapat paripurna terdekat (Sumber: Tempo, 13 November 2025).Sejak kesepakatan politik tersebut diumumkan, masyarakat sipil mulai bekerja untuk mencari draft RKUHAP yang nanti akan dijadikan bahan dalam tahap pembahasan tingkat II. Dari hasil kerja kolektif yang dilakukan, masyarakat sipil memperoleh draft RKUHAP tertanggal 13 November 2025 dan meyakini bahwa draft tersebut adalah versi mutakhir hasil pembahasan yang terjadi selama Rapat Panitia Kerja yang dilangsungkan pada 12-13 November 2025.

Meskipun proses pembahasan tahap I berlangsung lama dan melibatkan berbagai kalangan, ternyata substansi yang dihasilkan belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan publik. Alih-alih melindungi, sejumlah norma yang termuat dalam draft tersebut justru berpotensi semakin meminggirkan posisi kelompok rentan, termasuk Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Asosiasi LBH APIK Indonesia, LBH APIK Jakarta, dan sejumlah kantor LBH APIK di daerah menilai bahwa draft RKUHAP tertanggal 13 November 2025 tersebut gagal menyediakan kerangka hukum acara yang adil, setara, dan inklusif. Draft tersebut cenderung memberikan perhatian lebih besar kepada PBH dalam posisinya sebagai pelaku tindak pidana. Sementara, hal serupa tidak diberikan kepada PBH baik sebagai korban maupun saksi yang secara empiris sering mengalami hambatan dalam mengakses keadilan.

Kertas kebijakan (policy paper) yang disusun oleh Asosiasi LBH APIK dan LBH APIK Jakarta dan disampaikan kepada Komisi III dalam RDPU pada 14 Juli 2025 ternyata juga tidak sepenuhnya diperhatikan; sebagian diterima, namun tidak sedikit juga yang diabaikan. Padahal, policy paper tersebut didasarkan pada pengalaman sejumlah kantor LBH APIK di daerah dalam mengimplementasikan KUHAP yang berlaku saat ini. Dokumen tersebut juga menjelaskan secara lengkap tentang bagaimana seharusnya PBH diposisikan dan diperlakukan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, mulai dari tahap pemeriksaan, penyelidikan, penuntutan, hingga persidangan.

Asosiasi LBH APIK Indonesia, LBH APIK Jakarta, dan LBH APIK se-Indonesia mencermati perkembangan situasi yang terjadi terkait proses revisi KUHAP dan mempunyai sejumlah catatan sebagai berikut:

  1. DPR dan pemerintah telah mengakomodasi 2 (dua) usulan LBH APIK dalam konteks:
    ● Mengadakan asesmen dan mengupayakan dukungan/rujukan fasilitas pada perempuan dan kelompok rentan (Pasal 5 ayat (1) huruf e dan Pasal 7 ayat (1) huruf n draft RKUHAP 13 November 2025), dan
    ● Mengadakan dukungan khusus bagi penyandang disabilitas sesuai kebutuhannya (Pasal 35 ayat (5) draft RKUHAP 13 November 2025).

Meskipun usulan tersebut diterima, terdapat 2 (dua) catatan kritis. Pertama, tidak ada klausul yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menjalankan kedua norma tersebut. Tanpa klausul perintah, norma yang telah diakomodir tersebut berisiko hanya sebagai formalitas. Kedua, asesmen kerentanan hanya diakomodasi pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Belum ada klausul yang memastikan bahwa asesmen kerentanan dan dukungan/rujukan fasilitas bagi penyandang disabilitas juga diterapkan pada setiap tahap dalam sistem peradilan pidana.

2. DPR dan pemerintah mengabaikan sejumlah usulan LBH APIK, diantaranya:
● Pelibatan pihak lain dalam gelar perkara. Bagi LBH APIK, gelar perkara merupakan titik krusial yang menentukan nasib sebuah kasus. Oleh karena itu LBH APIK mengusulkan agar gelar perkara juga dihadiri oleh Penasehat hukum terduga pelaku, Pendamping korban, dan Ahli, termasuk Ahli yang diusulkan oleh Penasehat hukum terduga pelaku dan Pendamping korban. Tujuan dari usulan ini adalah untuk menjamin transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan terhadap kepentingan atau hak terduga pelaku maupun korban dalam proses tersebut. Tanpa pelibatan pihak-pihak tersebut, keputusan gelar perkara berisiko bias dan tidak menggambarkan sepenuhnya situasi terduga pelaku maupun korban.

● Penggeledahan perempuan. LBH APIK menilai bahwa penggeledahan terhadap perempuan merupakan tindakan yang dapat menghadirkan ketakutan, trauma, dan potensi pelecehan seksual. Oleh karena itu, LBH APIK mendorong agar RKUHAP mengatur norma yang secara eksplisit, di dalam ayat dan bukan hanya di penjelasan pasal, menyebut bahwa seorang perempuan hanya boleh digeledah oleh petugas perempuan. Tanpa aturan tegas seperti ini, perempuan tetap berada dalam posisi rentan dan tidak memiliki dasar hukum untuk menolak penggeledahan yang berpotensi melanggar  martabatnya.

● Penangguhan penahanan bagi perempuan yang sedang hamil atau menyusui. Perempuan hamil rentan mengalami gangguan kesehatan, sehingga ruang tahanan beresiko tinggi bagi keselamatan perempuan dan bayi. Perempuan menyusui juga mudah terpengaruh secara psikologis, yang berdampak pada kesehatan bayi. Selain itu, anak membutuhkan asupan gizi, dan rentan apabila dibawa ke ruang tahanan. Oleh karena itu kondisi kehamilan seharusnya menjadi pertimbangan untuk penangguhan penahanan atau alternatif penahanan (misalnya tahanan rumah atau kota).

● Pendamping korban. Dalam banyak kasus yang ditangani oleh kantor-kantor LBH APIK dan lembaga layanan berbasis masyarakat di daerah, peran paralegal sangat membantu dalam memberikan dukungan awal bagi korban. Mereka sering menjadi pihak pertama yang dihubungi oleh korban ketika hendak mengakses keadilan. Namun, merujuk pada Pasal 136 draft RKUHAP tertanggal 13 November 2025, peran paralegal tidak masuk dalam list pendamping/dihapuskan. Penghapusan peran tersebut menjadikan paralegal tidak diakui sebagai pendamping korban dalam RKUHAP, sehingga akan dapat mempersulit paralegal dalam memberikan pendampingan, yang sangat dibutuhkan oleh korban.

Berdasarkan berbagai catatan tersebut, Asosiasi LBH APIK Indonesia, LBH APIK Jakarta, dan kantor-kantor LBH APIK di daerah menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Menolak Pengesahan RKUHAP dan mendesak Pemerintah dan DPR untuk mempertimbangkan kembali masukan masyarakat sipil, terutama dalam konteks perlindungan dan pemenuhan hak bagi kelompok rentan, diantaranya PBH.
  2. Mendesak pemerintah dan DPR untuk memasukan klausul kewajiban (mandatory obligation) bagi seluruh penegak hukum dalam menjalankan asesmen dan mengupayakan dukungan/rujukan bagi perempuan dan kelompok rentan, termasuk juga dalam konteks dukungan fasilitas bagi penyandang disabilitas sesuai kebutuhannya dalam setiap tahap sistem peradilan pidana di Indonesia.
  3. Mendesak pemerintah dan DPR untuk mengakomodir usulan tentang pelibatan pihak lain dalam gelar perkara, penggeledahan terhadap perempuan, penangguhan penahanan bagi perempuan yang sedang hamil atau menyusui, dan memasukkan kembali paralegal sebagai pendamping korban.

Demikian pernyataan sikap ini disampaikan.

Narahubung:
Khotimun S – Ketua Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Indonesia (085811676915)
Uli Pangaribuan – Direktur LBH APIK Jakarta (081284836807)

18.11.25_Rilis LBH APIK Tentang RKUHAP