Pembahasan Revisi Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang TNI oleh Pemerintah dan DPR RI terlihat buru-buru, minim partisipasi masyarakat, dan tertutup. Terlebih lagi, Pertemuan Komisi I DPR RI dengan Pemerintah pada Sabtu 15 Maret 2024 di hotel bintang 5 di Jakarta tidak sejalan dengan komitmen pemangkasan anggaran yang tengah digaungkan oleh Pemerintahan Prabowo saat ini.
Asosiasi LBH APIK Indonesia dan 18 Kantor LBH APIK di Indonesia menolak Revisi UU TNI yang dapat melemahkan supremasi sipil dan melegitimasi Dwifungsi Militer. Kami memandang bahwa perluasan peran TNI berbagai sektor seperti politik, ekonomi, bisnis, pembangunan dan keamanan yang termuat dalam Revisi UU TNI akan membuka jalan terhadap supremasi militer yang berbahaya bagi demokrasi. TNI yang menduduki posisi sipil dalam berbagai sektor dapat membuat batas antara ranah militer dan sipil semakin kabur, membuat otoritas sipil yang seharusnya menjadi bentuk pengawasan dan kontrol terhadap militer tidak akan berjalan lagi.
Muatan Revisi UU TNI berpotensi memukul mundur upaya reformasi TNI yang telah diperjuangkan sejak 1998 pada dasarnya bertujuan untuk menghapus dwi fungsi ABRI/TNI dan menempatkan militer pada posisinya sebagai penjaga pertahanan negara, bukan sebagai aktor politik atau pengambil kebijakan sipil. Revisi ini justru berpotensi membawa Indonesia kembali ke era otoritarianisme dan membuka peluang besar bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Perluasan peran TNI di berbagai sektor sipil dapat berdampak dan mengancam bagi kehidupan perempuan dan bertentangan dengan komitmen Pengarusutamaan Gender (PUG) di Indonesia, di antaranya:
Pertama, potensi menguatnya impunitas anggota TNI dalam kasus hukum dan kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP). Revisi UU TNI membuka peluang perwira TNI aktif untuk menduduki posisi strategis Mahkamah Agung dan lembaga peradilan lain yang berpotensi melemahkan supremasi sipil dalam peradilan. Independensi kekuasaan yudikatif mengatur bahwa kekuasaan kehakiman harus bebas dari intervensi pihak manapun sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Imparsialitas peradilan menjadi salah satu komponen penting untuk akses keadilan bagi perempuan menurut konvensi atau kesepakatan internasional untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW).
Praktik ini akan berpotensi menguatkan peran peradilan militer untuk menangani kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP). Berkaca dari pengalaman pendampingan kasus kantor-kantor LBH APIK, kasus-kasus KtP yang melibatkan anggota TNI seharusnya bisa diselesaikan melalui peradilan umum, namun diarahkan prosesnya ke peradilan militer.
Pendampingan kasus LBH APIK mencatat bahwa peradilan militer masih belum menerapkan Perma 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Intervensi militer dalam proses hukum kasus-kasus KtP berdampak pada impunitas pelaku dan tidak terpenuhinya hak-hak korban. Pemerintah dan DPR seharusnya lebih fokus pada revisi UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dengan menguatkan prinsip equity before law (persamaan di depan hukum) sebagaimana dimandatkan dalam konstitusi. Dalam negara hukum, semua warga negara harus diadili dalam sistem peradilan yang adil, independen, dan bebas dari intervensi kekuasaan. Selain itu, hal ini juga menciderai konsep penting dalam akses keadilan bagi perempuan, di mana lembaga peradilan haruslah bertindak imparsial.
Kedua, legitimasi militer dalam Proyek Pembangunan menambah potensi kriminalisasi dan kekerasan terhadap Perempuan Pembela HAM (PPHAM). Perluasan peran militer dalam proyek-proyek pembangunan berisiko memperkuat penggunaan kekuatan militer, yang dapat mengancam kerja-kerja Perempuan Pembela HAM (PPHAM) dalam memperjuangkan hak atas ruang hidupnya. Sepanjang reformasi berlangsung, peminggiran dan perampasan hak masyarakat adat dan komunitas akar rumput lainnya, kriminalisasi pembela HAM dan tindakan represif dengan indikasi keterlibatan militer mengeskalasi hilangnya ruang hidup dan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Penggunaan kekuatan militer dalam kasus-kasus agraria telah menambah potensi trauma dan kerentanan perempuan atas kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Ketiga, potensi merampas akses perempuan terhadap jabatan-jabatan strategis di berbagai sektor sipil. Perempuan masih menghadapi tantangan gender serta keterbatasan akses terhadap jabatan sipil strategis. Saat ini, lebih dari 2.100 prajurit TNI aktif telah menduduki berbagai posisi di sektor sipil di Indonesia. Sementara, keterwakilan perempuan dalam jabatan strategis di Kementerian/Lembaga dan sektor sipil lain seperti BUMN/BUMD masih belum mencapai 30%.
Revisi UU TNI berpotensi menambah jumlah militer di jabatan sipil, yang dapat semakin mempersempit ruang bagi perempuan. Kultur militer yang hierarkis dan maskulin cenderung tidak sensitif terhadap isu kesetaraan, sehingga dapat menghambat partisipasi perempuan dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Lebih lanjut, meningkatnya keterlibatan militer dalam sektor sipil dapat membuka peluang mengubah orientasi kebijakan menjadi kurang inklusif dan tidak adil gender.
Keempat, menguatkan pendekatan militeristik yang patriarkis. Pendekatan militeristik dalam pemerintahan cenderung menekan gerakan perempuan dan membatasi ruang ekspresi kelompok tertentu, terutama mereka yang aktif dan kritis terhadap kebijakan yang dibuat. Melemahnya supremasi sipil dapat menghidupkan kembali konsep Ibuisme Negara saat Order Baru, yang secara sosial politik menempatkan perempuan dalam peran domestik dan membatasi partisipasi perempuan dalam ranah publik, termasuk dalam konteks politik dan kepemimpinan. Intervensi militer dalam ruang publik mengancam eksistensi perempuan yang saat ini juga masih terbatas partisipasinya.
Kelima, ancaman terhadap kebebasan berekspresi perempuan dan masyarakat sipil. Revisi UU TNI akan memperluas kewenangan yang nantinya diemban oleh TNI, termasuk dalam bidang keamanan negara di ruang siber dan operasi militer non perang dalam rangka tugas keamanan negara dan ketertiban masyarakat. Tanpa adanya pengawasan sipil, ini dapat berujung pada pembatasan kebebasan berekspresi, terutama bagi kelompok perempuan dan masyarakat sipil yang mengkritisi kebijakan negara.
Kewenangan tersebut dapat dilakukan sesuai dengan kebijakan dan keputusan politik negara yang bisa saja menggunakan kacamata patriarkis. Jika revisi ini disahkan, ruang demokrasi dan kebebasan sipil bisa semakin menyempit, mengulang pola represi terhadap aktivis perempuan yang terjadi di masa lalu. Atas catatan-catatan di atas, maka Asosiasi LBH APIK Indonesia dan 18 kantor menyatakan sikap:
- Menolak revisi UU TNI yang berpotensi melegitimasi dwifungsi TNI
- Mendesak Pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang berpotensi menghidupkan kembali supremasi militer di ranah sipil yang berbahaya bagi demokrasi.
- Mendorong reformasi fungsi TNI dan Polri termasuk melakukan penguatan nilai-nilai kesetaraan gender dan non diskriminasi dalam tubuh TNI dan Polri.
Kami juga mengajak seluruh elemen masyarakat menolak revisi UU TNI. Dalam sejarah, pola otoritarianisme di Indonesia dan berbagai negara dimulai dari makin melebarnya posisi militer aktif dalam jabatan sipil. Kita harus tegas menolak!
Jakarta, 19 Maret 2024
Asosiasi LBH APIK Indonesia
LBH APIK Jakarta
LBH APIK Nusa Tenggara Barat (NTB)
LBH APIK Medan
LBH APIK Nusa Tenggara Timur
LBH APIK Aceh
LBH APIK Sumatera Selatan
LBH APIK Banten
LBH APIK Jawa Barat
LBH APIK Semarang
LBH APIK Yogyakarta
LBH APIK Kota Batu
LBH APIK Bali
LBH APIK Jayapura
LBH APIK Sulawesi Selatan
LBH APIK Sulawesi Tengah
LBH APIK Kalimantan Timur
LBH APIK Pontianak
Narahubung:
- Khotimun S / Asosiasi LBH APIK Indonesia (085811676915)
- Uli Pangaribuan / LBH APIK Jakarta (081284836807)