Pada hari Senin 14 Juli 2025, Asosiasi LBH APIK Indonesia bersama LBH APIK Jakarta diterima RDPU Komisi III untuk menyampaikan pandangan mengenai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Seperti telah diliput oleh berbagai media pada Jumat (11/07) lalu, bahwa Panja RUU KUHAP telah menyelesaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) bersama Pemerintah dan saat ini diserahkan ke Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin). RDPU diterima oleh Ketua Komisi III Habiburokhman dan beberapa anggota Komisi III DPR RI.
Asosiasi LBH APIK Indonesia bersama LBH APIK Jakarta menyambut baik pernyataan Ketua Komisi III yang akan membuka ruang yang lebih luas bagi masukan publik dan juga untuk memantau proses pembahasan di Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi RUU KUHAP ini. Sebuah tawaran yang sebetulnya harus dilakukan sejak awal pembahasan sehingga tak perlu mengundang kontroversi dan kontra-produktif terhadap Pemerintah yang ingin mengedepankan prinsip pemerintahan yang kolaboratif (collaborative governance) terhadap semua pihak termasuk di dalamnya dengan masyarakat sipil yang berkepentingan langsung terhadap pelaksanaan KUHAP ini nantinya.
Asosiasi LBH APIK Indonesia dan LBH APIK Jakarta telah menyampaikan catatan kritis berdasarkan pengalaman pendampingan yang dilakukan oleh kantor-kantor LBH APIK di seluruh Indonesia terhadap implementasi KUHAP, sekaligus merupakan hasil pencermatan terhadap perkembangan rumusan dalam RUU KUHAP tersebut. Selama ini, perempuan yang berhadapan dengan hukum – baik sebagai korban, tersangka, maupun terdakwa – belum mendapatkan perlakuan yang sensitif gender dalam proses peradilan. Para penegak hukum pada umumnya juga kurang berpihak kepada korban, masih terdapat Aparat Penegak hukum yang menyalahkan korban bahkan melakukan kriminalisasi terhadap korban.
Pengaturan dalam KUHAP saat ini membuat proses peradilan belum memberikan keadilan substantif dan perlindungan terhadap perempuan. Proses yang terjadi di berbagai tahapan peradilan, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan sebagaimana diatur dalam KUHAP masih belum dapat menggali secara mendalam faktor kultural dan struktural yang melatarbelakangi situasi perempuan yang berhadapan dengan hukum, termasuk konteks relasi kuasa, kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Akibatnya, perempuan yang terlibat dalam perkara pidana atau berhadapan dengan hukum masih ditempatkan hanya sebagai objek hukuman atau pantas mendapatkan hukuman karena dianggap tidak sepantasnya berhadapan dengan hukum. Terlebih lagi perempuan sebagai korban belum mendapatkan perhatian dalam KUHAP padahal angka Kekerasan Berbasis Gender dari tahun ketahun mengalami peningkatan dan penanganannya pun tidak maksimal memberikan perhatian pada korban. Seharusnya pemerintah memberikan perhatian dan perlindungan pada perempuan korban kasus-kasus struktural karena dia perempuan dan berhak mendapatkan perlindungan.
Mengenai hal tersebut, Asosiasi LBH APIK Indonesia dan LBH APIK Jakarta menyampaikan poin-poin catatan kritis dalam RDPU Komisi III, diantaranya:
-
- Perspektif dan pemenuhan hak perempuan dan kelompok rentan lainnya harus diintegrasikan secara menyeluruh dalam revisi KUHAP, dengan mandat yang jelas di setiap tingkat pemeriksaan perkara. Meskipun dalam RUU KUHAP sudah terdapat rumusan mengenai hak perempuan, disabilitas, dan lansia, namun belum ditetapkan siapa pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya.
- Perluasan Objek Pra Peradilan, agar tidak terbatas pada tingkat penyidikan (sidik), namun juga mencakup tingkat penyelidikan (lidik). LBH APIK mencatat bahwa penolakan laporan/pengaduan kerap terjadi, namun belum terdapat mekanisme keberatan yang disediakan. Selain itu, apabila penyelidikan berlarut-larut atau tidak ada kelanjutan (justice delay), mekanisme yang tersedia dalam RUU KUHAP adalah melapor ke atasan setelah 14 hari, namun hal ini tanpa adanya mekanisme lanjutan atau upaya hukum lain yang dapat ditempuh. LBH APIK juga mencatat keberatan terhadap pembatasan objek pra peradilan yang hanya terkait upaya paksa tanpa izin pengadilan. Seharusnya, proses upaya paksa – baik dengan izin maupun tanpa izin pengadilan – tetap dapat menjadi objek pra peradilan.
- Ketentuan Upaya Paksa, khususnya terkait penangkapan yang dalam RUU KUHAP dapat dilakukan dalam 7×24 jam oleh polisi. Setiap tindakan Upaya Paksa sebagaimana dilakukan oleh Penyidik wajib memperlihatkan surat tugas dan Penetapan Izin Pengadilan, dan dalam melakukan Upaya Paksa terhadap Perempuan Berhadapan dengan Hukum, Penyidik wajib memperhatikan kondisi khusus Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Sementara, lamanya waktu yang diatur berpotensi menimbulkan risiko bagi perempuan karena semakin lama penangkapan, semakin rentan pula terjadinya berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan berbasis gender bahkan kekerasan seksual juga menjadi rawan dan peluang transaksional bisa terjadi.
- Penggeledahan Sistem Elektronik dengan memerhatikan privasi perempuan korban. Penyidik mengajukan permintaan untuk melakukan Penggeledahan Sistem Elektronik kepada Penuntut Umum dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, dan kelancaran layanan publik dan menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Peradilan Koneksitas yang dalam RUU KUHAP saat ini cenderung lebih mengutamakan kepentingan militer apabila terjadi tindak pidana oleh prajurit/TNI. Sedangkan dari pencermatan dan pengalaman LBH APIK, hal ini membuat proses hukum lebih rumit bagi korban serta memunculkan disparitas putusan antara Pengadilan Militer dengan Pengadilan Umum, khususnya dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan seksual. Oleh karena itu, LBH APIK mengusulkan agar Pengadilan Militer dibatasi pada pelanggaran terhadap hukum militer saja. Sementara untuk perkara tindak pidana umum, termasuk KDRT dan kekerasan seksual, yang dilakukan personel prajurit/TNI harus diperiksa dan diadili di Pengadilan Umum, agar korban merasa terlindungi dan tidak mengalami kekerasan berulang karena tekanan psikologis akibat relasi kuasa yang berlapis.
- Gelar Perkara, dalam RUU KUHAP proses gelar perkara memiliki poin vital menjadi penentu apakah suatu perkara dapat dilanjutkan atau justru dihentikan. Sayangnya, dalam pengaturan gelar perkara tidak terlihat keterlibatan pendamping korban dan juga korban untuk dapat menghadiri proses tersebut. Gelar perkara hanya wajib dihadiri oleh ahli dan penyidik yang dikhawatirkan interpretasi mereka terhadap suatu tindak pidana justru merugikan kelompok perempuan korban. Seharusnya bersesuaian dengan UU PKDRT dan UU TPKS yakni mendengarkan keterangan korban, sehingga korban wajib dihadirkan dan pendampingnya untuk menguatkan korban.
- Sinkronisasi terhadap regulasi beracara yang telah progresif untuk memenuhi hak-hak perempuan dalam proses peradilan pidana. Selain itu, sinkronisasi juga perlu dilakukan terhadap peraturan-peraturan internal di tingkat Kejaksaan dan Kehakiman yang mengatur penanganan perkara perempuan berhadapan dengan hukum. Pengaturan-pengaturan yang telah baik untuk penanganan perkara perempuan berhadapan dengan hukum yang masih terpisah-pisah ini perlu dikodifikasi menjadi satu kesatuan dalam perubahan RUU KUHAP untuk menjamin pemenuhan hak-hak perempuan berhadapan dengan hukum, tidak berbeda satu sama lain.
- Peran Advokat yang perlu diperkuat dengan eksistensi RUU KUHAP bahwa advokat setara dengan aparat penegak hukum lain, seperti polisi, jaksa, dan hakim.
- Keadilan restoratif Dalam konteks kekerasan berbasis gender, Kajian LBH APIK terkait kasus kekerasan seksual berbasis online menemukan proses penanganan di Tingkat kepolisian yang cenderung mendamaikan korban dan pelaku namun proses perdamaian itu dilakukan melalui tekanan-tekanan dalam bentuk ancaman secara tidak langsung terhadap korban jika kasusnya tidak diselesaikan secara damai. Di mana dalam RKUHAP ini pun diatur bahwa atas dasar titipan ganti rugi, maka hakim dapat mempertimbangkannya sebagai alasan untuk menghindari sanksi pidana. Perlu adanya pengkajian ulang terkait aturan ini untuk memastikan terpenuhinya kepentingan terbaik bagi perempuan korban.
Masih terdapat berbagai catatan lainnya dari Asosiasi LBH APIK Indonesia dan LBH APIK Jakarta yang perlu menjadi perhatian oleh TIMUS/TIMSIN dan Komisi III. Catatan tersebut dan masukan masyarakat sipil lainnya perlu diakomodasi untuk menjamin bahwa RUU KUHAP akan menciptakan sistem peradilan yang lebih adil, sensitif gender dan inklusif. Oleh karena itu, kami mendesak agar :
- Panja RUU KUHAP dan Komisi III DPR RI cq TIMUS/TIMSIN untuk tidak terburu-buru dalam pembahasan dan penyelesaian rumusan-rumusan RUU KUHAP aquo, terutama pada rumusan-rumusan yang dapat berpengaruh pada perlindungan hak-hak warganegara, ruang masyarakat sipil, termasuk perempuan dan kelompok rentan;
- Panja RUU KUHAP dan Komisi III DPR RI untuk secara aktif membuka ruang partisipasi masyarakat sipil lebih luas dan bermakna dalam menyampaikan pendapatnya mengenai perkembangan rumusan RUU KUHAP;
- Panja RUU KUHAP dan Komisi III DPR RI untuk menunda pengesahan RUU KUHAP dan memperbaiki rumusan dengan mengakomodasi masukan masyarakat sipil dalam rumusan RUU KUHAP.
Demikian pernyataan sikap tersebut kami sampaikan dengan penuh rasa tanggungjawab dan harapan agar TIMUS/TIMSIN Komisi III dapat mempertimbangkannya dengan seksama dan sebaik-baiknya.
Jakarta, 16 Juli 2025
Turut menyatakan sikap:
- Asosiasi LBH APIK Indonesia
- LBH APIK Jakarta
- LBH APIK Aceh
- LBH APIK Medan
- LBH APIK Sumatera Selatan
- LBH APIK Jawa Barat
- LBH APIK Banten
- LBH APIK Semarang
- LBH APIK Yogyakarta
- LBH APIK Kota Batu
- LBH APIK Bali
- LBH APIK NTB
- LBH APIK NTT
- LBH APIK Kalimantan Timur
- LBH APIK Sulawesi Tengah
- LBH APIK Sulawesi Selatan
- LBH APIK Jayapura
Narahubung:
Khotimun Sutanti – Asosiasi LBH APIK Indonesia | +6285811676915
Uli Pangaribuan – LBH APIK Jakarta | +6281284836807